Posts

Showing posts from April, 2017

KUMPULAN PUISI MENARIK OLEH AGUS R. SARJONO

Image
image Red Mittens DEMOKRASI DUNIA KETIGA Kalian harus demokratis. Baik, tapi jauhkan tinju yang kau kepalkan itu dari pelipisku bukankah engkau… Tutup mulut! Soal tinjuku mau kukepalkan, kusimpan di saku atau kutonjokkan ke hidungmu, tentu sepenuhnya terserah padaku. Pokoknya kamu harus demokratis. Lagi pula kita tidak sedang bicara soal aku, tapi soal kamu yaitu kamu harus demokratis! Tentu saja saya setuju, bukankah selama ini saya telah mencoba… Sudahlah! Kami tak mau dengar apa alasanmu. Tak perlu berkilah dan buang waktu. Aku perintahkan kamu untuk demokratis, habis perkara! Ingat gerombolan demokrasi yang kami galang akan melindasmu habis. Jadi jangan macam-macam Yang penting kamu harus demokratis. Awas kalau tidak! SINGER Seorang lelaki berkutat bebaskan budak dalam diri, menulis musuh dalam kisah cinta sejati. Tapi trauma dan masa lalu bagai mantan istri yang selalu memaksa untuk rujuk kembali. Dalih adalah Sang Tuan dari rembang ingatan. Bahkan di detik jingga di nadi hidup y

REVIEW BUKU LASKAR PELANGI

Image
image Rima Karmina Daerah terpencil yang disebut dengan kampung Belitong berdiri sekolah sekian tahun dengan kondisi sangat mengenaskan. sekolah itu lebih cocok disebut gudang Kopra. Namun dua tenaga pengajar disekolah tersebut masih ingin mempertahankan dan memperjuangkannya. Pak Harfan sebagai kepala sekolah, dan Ibu Muslimah biasa dipanggil bu Mus. Karena keadaan minim harapan, pemerintah akan menutup sekolah tersebut jika siswanya tidak mencapai sepuluh. Keadaan perekonomian warga sekitar yang sangat minim, dan menganggap pendidikan hanya akan jadi perkara memberatkan masalah ekonomi keluarga yang memang sudah lemah. Hingga banyak warga lebih memilih anak-anak mereka bekerja daripada sekolah. Walaupun sekolah Muhammadiyah hanya menerima bayaran sukarela, namun warga masih memilih anak-anak mereka bekerja untuk membantu keuangan keluarga. Hari itu bu Mus dan pak Hasan dilanda kecemasan, begitupula dengan sembilan siswa yang sudah hadir. Jika sampai pukul sebelas masih tidak mencap

SESAAT SEBELUM BERANGKAT OLEH PUTHUT EA

Image
image  carolinerwheeler Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat. Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi tiga pekan lalu. ”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, kamu tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.” Aku menatap wajah di depanku, wajah perempuan yang sangat kukenal. ”Aku, ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkannya. Kelak kalau kamu punya anak, kamu akan tahu bagaimana rasanya khawatir yang sesungguhnya.” Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku, beralih kemudian menuangkan poci teh di gelas pere

DI SINI DINGIN SEKALI OLEH PUTHUT EA

Image
image alamy.com Ibu semakin jarang berbicara. Suaranya terbenam entah di mana. Tidak ada lagi dongeng, dan tidak ada lagi candanya. Semua lenyap. Hanya kini, suara-suara keluar dari tangannya. Apa saja yang dipegangnya selalu berisik. Kadang aku mengira, gempa susulan terjadi lagi. Terutama ketika ia sedang berada di dapur. Seperti pagi ini. Aku bangun karena suara berisik dari dapur darurat yang terletak di dekat rumpun pohon pisang. Suara air yang dimuntahkan ke panci. Suara kayu bakar yang sedang dibelah. Suara-suara juga muncul dari tangan ibu ketika memarut kelapa atau memotong sayuran. Dan yang sering sekali membuat tubuhku begitu terasa dingin, ketika air dibiarkan mendidih terlalu lama. Mengeluarkan suara yang sangat menakutkan. Bergemuruh, seperti dulu ketika gempa besar terjadi. Aku segera keluar dari tenda. Bapak sedang merokok dan menikmati kopi di dekat kamar mandi darurat, di dekat pohon mangga. Ia sedang mengantre mandi. Sebentar lagi, bapak akan pergi untuk kerja bakti

SAMBAL KELUARGA OLEH PUTHUT EA

Image
image saviour angle Di keluargaku, ada satu jenis sambal yang nyaris tidak pernah absen dari meja makan kami, terutama saat makan pagi. Sambal itu sangat sederhana, baik bahan maupun cara pembuatannya. Beberapa butir cabai hijau, ditambah sepotong kecil bawang putih dengan garam secukupnya, lalu ditetesi minyak goreng panas sisa menggoreng sesuatu. Setelah diulek, sambal itu dihidangkan begitu saja di atas cobek, berbaur dengan menu lain. Sambal itu bukan menu tambahan atau menu penyempurna. Ia merupakan menu utama. Lauk yang lain seperti tidak ada jika sambal itu tidak hadir, tetapi sambal itu akan tetap menggiurkan dengan iringan lauk yang lain. Sambal itu tetap enak jika disandingkan dengan ayam goreng, telur, atau tempe. Tetap enak sekalipun hanya ada kerupuk atau pete. Masing-masing anggota keluarga kami mempunyai nama sendiri-sendiri untuk menyebut sambal itu. Yu Sumi, orang yang bertahun-tahun membantu memasak di rumah kami, menyebut sambal itu dengan nama sambal korek. Mungkin

IBU PERGI KE LAUT OLEH PUTHUT EA

Image
image Donna Bouma Ayah bilang ibu pergi ke laut. Waktu aku tanya kenapa ibu tidak pulang, ayah menjawab, ibu mungkin tidak pulang. Tentu saja kemudian aku bertanya apakah ibu tidak kangen padaku? Dan ayah menjawab, tentu saja ibu kangen dan tetap sayang padaku. Tapi kenapa ia tidak pulang? Apakah ada seorang anak sepertiku yang ada di laut sehingga ibu tidak mau lagi pulang ke rumah ini? Sepasang mata ayah kemudian berair. Ibu, seperti juga ayah, sering sekali pergi. Mereka bisa pergi berhari-hari. Terakhir yang kuingat, malam sebelum ibu pergi, aku melihat ia mengepak barang di dalam tas besar. Enak jadi orang yang sudah besar, pakaiannya banyak. Pagi sebelum ibu pergi, ia masih sempat mencium pipiku, lalu seperti biasanya, ia juga mencium ayah, kemudian ayah mengantar ibu. Enak jadi orang yang sudah besar, bisa pergi ke mana-mana dan tidak harus terus berada di rumah. Sewaktu ibu mengepak barang, seperti biasanya aku bertanya apakah ia akan pergi ke Jakarta? Ibu menggeleng. Apakah k