FILOSOFI KOPI (chapter 1) OLEH DEE
image Grant |
Filosofi Kopi (1996)
Kopi… k-o-p-i.
Sudah ribuan kali aku mengeja sembari memandangi serbuk hitam itu. memikirkan kira-kira sihir apa yang dimilikinya hingga ada satu manusia yang begitu tergila-gila: Ben… B-e-n.
Ben pergi berkeliling dunia, mencari koresponsden di mana-mana demi mendapatkan kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri. Dia berkonsultasi dengan pakar-pakar peramu kopi dari Rima, Paris, Amterdam, London, New York, bahkan Moskow.
Ben, dengan kemampuan berbahasa pas-pasan, mengemis-ngemis agar bisa menyelusup masuk dapur, menyelinap ke bar saji, mengorek-ngorek rahasia namun kopi dari barista-barista caliber kakap demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat café latte, cappuccino, espresso, Russian coffee, macchiato, dan lain-lain. sampai tibalah saatnya Ben siap membuka kedai kopinya sendiri. Kedai kopi idealis.
Setahun lalu aku resmi menjadi partner kerjanya. Berdasarkan asas saling percaya antarsahabat ditambah kenekatan berspekulasi, kuserahkan seluruh tabunganku menjadi saham di kedainya. Selain modal dalam bentuk uang dan ilmu administrasi, aku tak tahu apa-apa tentang kopi. Itu menjadi modal Ben seutuhnya.
Sekarang, boleh dibilang Ben termasuk salah satu peramu kopi atau barista terandal di Jakarta. Dan ia menikmati setiap detik kariernya. Di kedai kami ini, Ben tidak mengambil tempat di pojok, melainkan dalam sebuah bar yang terletak di tengah-tengah sehingga pengunjung bisa menontoni aksinya membuat kopi. Dengan seleksi kopi yang kami miliki, kebanyakan pelanggan kedai memang penggemar kopi sejati yang tak henti-hentinya mengagumi daftar menu kami. Benar-benar mengagumi karena mereka mengerti.
Lantai dan sebagian dinding kedai terbuat dari kayu merbau yang berurat kasar, poster-poster kopi berbagai macam pose di sepanjang dinding terbingkai rapi dalam pigura berlapis kaca. Puncaknya, sebuay jendela kaca besar, bertuliskan nama kedai kopi kami dalam huruf-huruf dicat yang mengangatkanmu pada tempat pangkas rambut zaman Belanda.
Kedai Koffie
B E N & J O D Y
Jody… J-o-d-y. kau dapat menemuinya di tempat yang kurang menarik, yakni di belakang mesin kasir atau di pokolan bersama kalkulator. Sementara di pusat orbir sana, Ben mengoceh tanpa henti, kedua tangannya menari berswama mesin, deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas, dan segala macam perkakas di meja panjang itu.
Tempat kami tidak besar dan sederhana dibangdingkan kafe-kafe lain di Jakarta. Namun di sini, setiap inci dipersiapkan dengan intensitas. Ben memilih setiap kursi dan meja yang semuanya berbeda dengan mengetesnya satu-satu, paling tidak seperempat ham per barang. Ia mencobanya sambil menghirup kopi, dan merasa-rasa dengan instingnya, apakah furniture itu cukup “sejiwa” dengan pengalaman minum kopi. Begitu juga dengan gelas, cangkir, bush kettle, poci, dan lain-lain. tidak ada yang tidak melalui tes kompatibilitas Ben terlebih dulu. Dengan ia menjadi pusat, dikelilingi mereka yang duduk di susunan rapat meja-kursi beraneka model, aku seolah menyaksikan sebuah perhelatan pribadi. Pesta minum kopi, kecil dan akrab, dengan Ben sebagai tuan rumah.
Tapi, yang benar-benar membuat tempat ini istimewa adalah pengalaman ngopi-ngopi yang dicuptakan Ben. Ia tidak sekadar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang ia buat. Ben menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filose untuk setiap jenis ramuan kopi.
‘Itu yang membuat saya mencintai minuman ini. kopi itu sangat berkarakter.’ Kudengar sayup-sayup Ben berkata pada salah satu pengunjung perempuan yang duduk di bar.
‘Seperti pilihan Anda ini, cappuccino. Ini untuk orang yang menyukai kelembutan sekaligus keindahan.’ Ben tersenyum seraya menyorongkan cangkir. ‘Anda tahu, cappuccino ini kopi paling genit?’
Perempuan itu tertawa kecil.
‘berbeda dengan café latte, meski penampilannya cukup mirip. Untuk cappuccino dibutuhkan standar penampilan yang tinggi. mereka tidak boleh kelihatan sembarangan, kalau bisa terlihat seindah mungkin.’
‘Oh, ya?’
‘Seorang penikmat cappuccino sejati, pasti akan memandangi penampilan yang terlihat di cangkirnya sebelum mencicip. Kalau dari pertama sudah kelihatan acak-acakan dan tak terkonsep, bisa-bisa mereka nggak mau minum. Sambil menjelaskan, dengan terampil Ben membentuk buih cappuccinoyang mengapung di cangkir itu menjadi bentuk hati yang apik.
‘Bagaimana dengan kopi tubruk?’ seseorang bertanya iseng.
‘Lugu, sederhana, tapi sangat memimikat kalau kita mengenalnya lebih dalam,’ Ben menjawab cepat. ‘Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar, membuatnya pun sangat cepat. Seolah-olah tidak membutuhkan skill khusus. Tapi, tunggu sampai Andai emncium aromanya,’ bak pemain sirkus Ben menghidangkan secangkir kopi tubruk, ‘silahkan, komplimen untuk Anda.’
Dengan wajah terpukau, orang itu menerima cangkir yang disorongkan Ben, siap menyeruput.’
‘Tunggu dulu!’ tahan Ben. ‘Kedahsyatan kopi tubruk terletak pada temperature, tekanan, dan urutan langkah pembuatan yang tepat. Semua itu akan sia-sia kalau Anda kehilangan tujuan sebenarnya: aroma. Coba hidup dulu aromanya. Ini kopi spesial yang ditanam di kaki gunung Kilimanjaro.’
Orang itu mengembangkan cuping hidung, menghirup dalam-dalam kepulan asap yang membubung dari cangkirnya. Matanya itu tampak berbinar puas.
Melihat reaksi tersebut, Ben mengangguk sama puas. Sejekap kemudian dia sudah berpindah tempat, berbincang-bincang dengan pengunjung lain, dengan semangat dan atensi yang sama.
Ketika kedai tutup dan semua pulang, tinggallah kami berdua berbincang-bincang di salah satu sudut. Satu-satunya kesempatan kami untuk akhirnya minum kopi.
‘Tidak terasa, kita sudah punya kedai ini setahun lebih.’ Mataku berputar bersama putaran kayu manis, lamunanku terisap pusaran kopi dalam cangkirku sendiri.
‘Sekian banyak manusia sudah datang dan pergi…’ nada bicara Ben tiba-tiba melonjak, seolah sesuatu menyengatnya, ‘dan kamu tahu apa kesimpulanku?’
‘Kita akan kaya raya?’
‘Belum tentu. Tapi semua karakter dan arti kehidupan ada di sini.’
‘Di dalam daftar menuman ini?’ Aku menunjuk buku tipis yang tergeletak di meja.
Mantap, Ben mengangguk,
‘Bagaimana kam bisa mengkondens jumlah yang tak terhingga itu ke dalam sebuah daftar minuman?’ aku menatapnya geli, ‘Ben… Ben…’
‘Jody… Jody…’ ia malah ikutan geleng-geleng. ‘Buku ini adalah buku yang hidup, daftar yang akan terus berkembang. Selama masih ada yang namanya biji kopi, orang-orang akan menermukan dirinya di sini.’ Ben mengacungkan daftar ramuan kopinya tepat di depan hidungku.
Air muka itu meletup-letup seperti didihan air. Ben beroleh ide baru. Aku berandai-andai kapan ia terpikir untuk akhirnya membangun berhala dari biji kopi, karena sepertinya hanya masalah waktu.
Susudah pembicaraan kami malam itu, Ben melakukan berbagai terobosan baru.
Dalam daftar minuman, kini ditambahkan deskripsi singkat mengenai filosifi setiap ramuan. Puncaknya, dia mengganti nama kedai kopi kami menjadi:
F I L O S O K O P I
Temukan Diri Anda di Sini
Nama kedai kami berikut slogannya ternyata menjadi sangat popular. Kuamati semakin banyak orang yang berhenti, membaca, kemudian dengan wajah ingin tahu mereka masuk ke dalam, waswas sekaligus harap-harap cemas, seperti memasuki tenda peramal. Dan tanpa perlu bola krisal. Omset kedai kami meningkat pesar.
Kini, bukan para kopi mania saja yang datang, bahkan mereka yang tidak suka kopi sama sekali pun ada yang berkunjung. Golongan terakhir ini adalah orang-orang penasaran dan akhirnya rela mencicipi kopi demi rasa ingin tahu. Ada juga grup gila filsafat, yang lebih menikmati diskusi mereka dengan Ben daripada kopi yang mereka pesan, tapi ujung-ujungnya menjadi langganan tetap juga.
Tak sampai di situ, Ben juga membuat karu kecil yang dibagikan kepada setiap orang sehabis berkunung. Kartu berutliskan. ‘KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI: …’ dan ketengan filosifisnya. Mereka sisipkan itu ke dalam saku, tas, dompet, bagai tanda keberuntungan yang menyumbangkap harap untuk menjalani hari. kadang-kadang aku mendengar mereka amulai menyebut kedai kopi kami dengan panggilan sayang bersi masing-masing Fil-Kop, So-Pi, Filo, FK, dan lain-lain.
Semua terobosan yang dilakukan Ben menjadikan kedai kopi ini memiliki magnet baru, yakni kehadirannya sebagai filsuf kecil, teman curhat. Kedai kami bukan sekadar persinggahanm tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan personal mereka, layaknya seorang teman.
Dan uang kupikir sudah luar biasa ternyata belum apa-apa. Malam itu Ben mengungkapkannya padaku, saat kami menghidup kopi panas pertama kami, larut malam di kursi bar.
‘Jody, hari ini aku mendapat tantangan besar.’
Aku, yang sedang sibuk berhitung dengan mesin hitung, hanya tergerak untu mengangkat alis, ‘Oh, ya?. Tantangan apa?’
Ben menggeser mesin hitung itu jauh ke ujung meja.
‘Dengar dulu baik-baik…’
Dia mulai bercerita. Sore tadi dia kedatangan seorang pengunjung, pria perlente berusia 30 tahun-an. Melangkah mantap masuk ke kedai dengan mimik yang hanya bisa ditandingin pemenang undian satu miliar. Wajah penuh kemenanga. Mungkin saja benar dia baru dapat satu miliar, karena tanpa ujung pangkal dia mentraktir semua orang yang duduk di bar.
Di hadapan mereka, ia bertanya pada Ben, tepatnya, mengumumkan keras-keras: ‘Di kedai ini, ada tidak kopi yang punya arti: kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup! Ada tidak? Kalau ada, saya pesan satu cangkir besa.’
Ben menjawab sipan, ‘Silahkan lihat saja di daftar, barangkali ada yang cocok.’
Proa itu menggeleng. ‘Barusan sudah saya baca. Tidak ada yang artinya itu.’
‘Yang mendekati, mungkin?’
Ucapan Ben justruk memancingnya tertawa. ‘Maaf, tapi dalam hidup saya tidak ada istilah mendekati. Saya ingin kopi yang rasanya sempurna, tidak bercacat.’
Ben mulai menggaruk kepalanya yang tak gatal.
‘Berarti Anda belum bisa pasang slogan seperti itu di depan,’ pria itu menunjuk kaca jendela. ‘Saya ke mari karena ingin menemukan diri…’. Selanjutnya dia bercerita panjang lebar mengenai kesuksesan hidupnya sebagai pemilik perusahaan importer mobil, istrinya seorang artis cantik yang sedang di pucak karier, dan di usianya yang masih di bawah 40 dia sudah menjadi salah satu pebisnis paling berpengaruh versi beberapa majalah ekonimi terkenal.
Kepalaku terasa pening. Entah karena tonjokan kafein atau cerita sukses itu.
Ben lanjut bercerita tentang pria itu untuk membuat kopi dengan rasa sesempurna mungkin. ‘Kopi yang apabila diminum akan membuat kita menahan napas saking takjubnya, dan Cuma bisa berkata: hidup ini sempurna.’ pria itu menjelaskan dengan ekspresi kagum yang mendalam, kemungkinan besar sedang membayangkan dirinya sendiri. Dan, gongnya, ia menawarkan imbalan sebesar 50 juta.
Seketika mataku terbeliak. Ini baru menarik. ’50 juta?!’
‘Dan aku menerima tantangannya.’
‘Sebentar, ini bukan taruhan, kan?’
‘Bukan. Kalau aku ternyata mampu, aku dapat uanganya, kalau tidak, ya sudah. Tanpa risiki.’
‘Kalau begitu, buat apa pikir-pikir lagi, sikaaat!’ seruku berkobar-kobar. Terbayang pengembangan apa saja yang bisa dibuat dengan 50 juta di tangan.
Ben hanya mengangguk kecil, keningnya berkerut. Aku tahu pasti, bukan uanga 50 juta yang menarik minatnya.
‘Berarti, aku harus kerja keras. Mulai sekarang!’ Sekonyong0konyong Ben berdiri, meninggalkanku dan kopinya yang baru diminum seteguk. Entah apa yang dimaksud ‘kerja keras’.
Belakangan aku baru tahu maksudnya. Tak ada lagi bincang-bincang malam hari seperti yang biasa kami lakukan. Ketika kedai sudah tutup, Ben tetap tak beranjak dari dalam bar. Pemandanganku setiap malam kini berganti menjadi Ben dikelilingi gelas-gelas ukur, tabung-tabung teaksi, timbangan, sendok takar, dan aneka benda yang rasanya lebih cocok ada di laboratorium kimia daripada di kedai kopi.
Rambut Ben gondrong berantakan, pipinya kasar karena kelupaan bercukur, lingkaran hitam mebundari matanya akibat terlelu banya begadang, tubuhnya menipis karena sering lupa makan. sahabatku bermutasi menjadi versi lain dari dokter Frankenstein. The Mad Barista.
Mingu-minggu berlalu sudah. Sekitar tengah malam, Ben tahu-tahu meneleponku, memaksaku datang ke kedai.
Aku tiba sambil bersungut-sungut. ‘Urusan apa yang sebegitu pentingnya sampai tidak bisa menunggu besok?’
Ben tidak menjawab. namun kutangkap kilau mata yang menyala terang, terpancar dari wajahnya yang kusut berantakan.
Ke depan batang hidungku, ia menyodorkan sebuah gelas ukur. Ada kopi hangat di daldamnya. ‘coba cium…’
Aku mengendus. Wangi. Sangat wangi.
‘Coba minum…’
Dengan sedikit ragu aku menyeruput. Sebuah kombinasi rasa merambati lidahku. Hmm… ini… ‘Ben, kopi ini…’ aku mengangkat wajahku, ‘SEMPURNA!’
Kujabat tangan Ben keras-keras sampai badannya terguncang-guncang. Kami berdua tertawa-tawa. Lama sekali. Seakan-akan ada beban berat yang tahu-tahu terangkat. Seolah-olah sudah tahunan kami tidak tertawa.
‘Ini kopi yang paling enak@’ seruku lagi, takjub.
‘… di dunia,’ sambung Ben. ‘Aku sudah keliling dunia dan mencoba semua kopi terenak, tapi belum ada yang rasanya seperti ini. akhirnya aku bisa berkata bahwa ada ramuan kopi yang rasanya ‘SEMPURNA’/
Aku mengangguk setuju/ ‘Mau diberi nama apa ramuan ono?’
Ben mematung, sampai akhirnya sebuah senyum mengembang, senyum bangga seorang ayah yang menyaksikan bayinya lahir ke dunia. ‘BEN’s PERFECTO,’ tandasnya mantap.
Pagi-pagi sekali Ben menelepon penantangnya. Tepat pukul empat sore, orang itu datang lengkap bersama pacarnya. Siapa pun akan mau bertukar nasib dengannya. Dari langkah pertama ia masuk kedai, auranya menyuarkan kesuksesan, kekayaan, dan pacarnya itu, tidak butuh lagi fiti aura untuk menangkap kecantikannya.
Disaksikan semua pelanggan yang sengaja kami undang, Ben menyuguhkan secangkir Ben’s Perfecto pertamanya dengan raut tegang.
Pria itu menyeruput, menahan napas, kemudian mengembuskannya lagi sambil berkata perlahan, ‘Hidup ini sempurna.’
Kedai mungil kami gegap gempita. Semua orang bersorak.
Pria itu mengeluarkan selembar cek. ‘Selama. Kopi ini perfect. Sempurna.’
Sebaga ganti, Ben memberikan kartu. Filosofi Kopi. Kartu itu bertulisjan:
KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:
BEN’S PERFECTO
Artinya:
Sukses adalah
Wujud Kesempurnaan Hidup
Pria itu tertawa lebar membacanya. ‘Setuju! Akan selalu saya simpan kartu ini,’ ujarnya, lalu memasukkan kartu itu ke balik kantong jasnya yang tampak mahal.
Sore itu berlalu dengan sempurna. kami membagikan sampel Ben’s Perfecto pada semua pengunjung, dan minuman itu mendapat sambutan yang luar biasa.
Demikian pula dengan hari-hari selanjutnya. Sejak diciptakannya Ben’s Perfecto, keuntungan kami meningkat, bahkan berlipat ganda.
Minuman itu menjadi menu favorit semua langganan sekaligus menjadi daya pikat yang menarik orang-orang baru untuk datang. Walau harganya lebih mahal dibandingkan minuman lain, kepuasan yang didapat dari Ben’s Perfecto memang tak bisa didapat di mana pun. Kesohoran minuman itu juga menarik perhatian banyak orang asing, dan mereka semua tercengang-cengang ketika mencobanya.
Tak ada yang menyangka akan menemukan ramuan kopi sedahsyat itu di kota Jakarta, di kedai kecil bernama Filosofi Kopi.
Hari ini, aku iseng mendampingi Ben di bar. Ingin sekali-kali kunikmati kepuasan bercakap-cakap dengan para pelanggan setia, atau sekadar menontoni ekspresi orang-orang baru saat mencicip ramua kopi spektakuler Ben.
‘First timer,’ Ben yang hafal semua muka pelanggannya berbisik ketika seorang pria setengah baya masuk.
Dengan ekstra ramah aku lansung menyambut. ‘Selamat pagi, pak.’ Sapaku seraya membungkukkan badan.
‘Selamat pagi.’ Tampak terkesan dengan sambutanku, ia kemudian duduk di salah satu bangku bar “Bisa pesan kopinya satu, Dik?’
‘Jelas bisa, Pak. Namanya juga kedai kopi.’
Dia ikut tersenyum. Agar canggung dia membenarkan posisi duduknya, celingak-celinguk mempelajari tempat kami, lalu perlahan membuka Koran yang ia kempit. Dari gelagatnya, aku menduga bapak satu itu tidak biasa minum kopi di kafe.
‘Silahkan, Pak. Mau pesan yang mana?’ Aku menyodorkan daftar minuman.
Bapak itu anya memandang sekilas, membaca pun tidak.
‘Ah, yang mana saja terserah Adik. Pilihkan saja yang enak,’ jawabnya kalem.
Dengan cepat aku berseru pada Ben, ‘Ben! Perfecto satu!’
Dalam waktu singkat, Ben sudah menyuguhkan secangkir Ben’s Perfecto.
‘Nah, yang ini bukan sekadar enak, Pak. Tapi ini yang paaliiing… enak! Nomor satu di dunia,’ aku berpromosi.
‘Vapak memang hobi minum kopi?’ tanya Ben ramah.
Pertanyaan rutinnya pada setiap pengunjung baru.
‘Kopi itu ibarat jamu sehatku setiap hari. aku tahu bener, mana kopi yang enak dan mana yang tidak. Kata temenku, kopi di sini enak sekalo,’ tuturnya bersemangat dalam logat Jawa kental.
Setelah meminum seteguk, bapak itu meletakkan cangkir dan kembali membuka halaman korannya.
Ben segera bertanya antusias, ‘Bagaimana, Pak?’
Bapak itu mendongak.’Apanya?’
‘Ya, kopinya.’
Dengan ekspresi sopan, bapak itu mengangguk-angguk.
‘Lumayan,’ jawabnya singkat lalu terus membaca.
‘Lumayan bagaimana?’ Ben mulai terusik.
lanjut chapter II...
Baca juga cerpen Salju di Gurun dan biografi Dewi Lestari
lanjut chapter II...
Baca juga cerpen Salju di Gurun dan biografi Dewi Lestari